Hormati Gurumu, Sayangi Teman
Situasi murid di sekolah sekolah di Indonesia juga beragam. Terdapat kelompok murid sekolah dari kelompok sangat miskin, berada di tempat terpencil, dan miskin fasilitas. Mereka harus berjalan kaki jauh untuk ke sekolah. Bahkan, kadang harus melewati sungai atau danau, menyeberanginya dengan perahu.
Ini tentu punya persoalan sendiri. Sementara tantangan murid yang melihat dunia luas dari media sosial dan 'gadgetnya', berikut dampak dampak sampingn yang luar biasa.
Relasi Guru, Murid dan Orangtua Tidaklah Cukup
Pada Rembug Nasional kementrian pendidikan nasional di 2018, disepakati akan adanya kode etik guru dan murid. Ini menyikapi adanya banyak kasus kekerasan yang menimpa baik guru dan anak. Padahal, menutus saya, persoalannya bukan hanya pada relasi guru dan murid. Bagaimana relasi guru, murid dan orang tua?
Ini semestinya menjadi pekerjaan bersama. Menyalahkan orang tua semata dengan nilai nilai normatif juga bukanlah jawaban. Kita hidup dalam tatanan sosial dan itu menjadi konteks yang dinamis di mana murid, guru, dan orang tua serta sistem pendidikan juga berelasi.
Terdapat tulisan di suatu blog tentang 9 hal harapan guru pada orang tua. Ini menarik. Pertama, adalah membaca. Orang tua diharapkan membaca untuk mendukung proses belajar anak. Kedua, adalah menjalin komunikasi dengan guru. Ketiga, bangun pertemanan.
Keempat, menghadiri pertemuan. Kelima, aktif dalam kegiatan sekolah. Keenam, mengikuti kegiatan edukatif. Ketujuh, menanamkan nilai. Kedelapan, mengajarkan kebersihan. Kesembilan, jadi sosok di rumah.
Jelas sudah, partisipasi orang tua dalam keberhasilan belajar sang anak juga merupakan hal penting. Di sekolah yang telah menerapkan relasi segitiga ini mungkin memiliki kondisi lebih baik dari yang tak melakukannya.
Namun, itupun saya kira tidaklah cukup. Persoalan pendidikan bukan hanya tergantung pada peran guru, murid dan orang tua. Ini tanggung jawab kita semua. Seberapa kita sebagai lingkungan sosial mampu memperkenalkan nilai nilai etika dan mendidik anak anak dengan baik?
Namun, ada pula kecenderungan bila terdapat anak sekolah yang nakal, maka orang tua, khususnya ibu akan dipersalahkan. Entah karena sang ibu bekerja, entah karena sang ibu berkegiatan di luar. Bahkan, dalam kampanye politik lalu muncul agenda 'merumahkan ibu', domestifikasi peran ibu. Ini tentu tidak adil. Pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua, ibu dan anak.
Bagaimana mungkin anak anak akan memiliki etika dan harus mencontoh gurunya, bila di lingkungan sosial guru itu tidak dihargai orang tua dan lingkungannya. Bagaimana kita akan mendapatkan anak anak yang santun bila mereka 'dididik' oleh televisi penuh sinetron dengan 'rating' tinggi mempertontonkan kebrutalan, perselingkuhan, kekerasan, mistik dan tingkah polah badut politik yang sibuk bermain hoaks.
Bagaimana mungkin kita berharap siswa beretika dan sayang kawan bila mereka melihat politisi dan pejabat yang berbohong, saling melempar bahasa kasar, dan saling melempar meja di gedung DPR/MPRRI? Belum lagi umbar kebencian di media sosial. Apakah ini yang disebut mendidik?
Murid bukan hanya 'pasien' guru. Kita semua bertanggung jawab. Tak ada gunanya saling menyalahkan, sementara kita tidak berbuat apapun. Ini negeri darurat untuk banyak hal. Kita adalah bagian dari perubahan itu. Itu kata guru saya, Mahatma Gandhi.
SEBELUMNYA HALAMAN AWAL
SEBELUMNYA HALAMAN AWAL
DEWALOTTO>TOGEL>POKER>CASINO_GAMES>TEMBAK_IKAN>NUMBER_GAME dan masih banyak lagi DEPO/WD 20rb
ReplyDeletePROSES CEPAT TERBONAFIT DAN TERLENGKAP yukk...